Bismillah Alhamdulillah
Allohummasholli'alamuhammadwa'alaalisayyidina Muhammad
Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Sahabat yang dimuliakan ALLOH SWT
Pernahkah anda berpikir ataupun melamun tentang meragukan Alqur'an ataupun agama islam, mungkin sebagian orang pernah, sungguh tidak ada keraguan yang harus dikhawatirkan dalam islam.
Pernahkah anda berpikir ataupun melamun tentang meragukan Alqur'an ataupun agama islam, mungkin sebagian orang pernah, sungguh tidak ada keraguan yang harus dikhawatirkan dalam islam.
Fiksi Dalam Hidup Kita
Socrates pernah mengingatkan sahabatnya–dua ribuan tahun silam, agar jangan mengabaikan tiga prinsip dasar ketika berbicara. Pertama, mengandung kebenaran. Kedua, bernuansa kebaikan. Ketiga, berguna bagi diri sendiri.
Panduan itu setidaknya cukup bagi kita kala ingin menyampaikan sebuah pikiran kepada orang lain, sehingga yang mencuat ke permukaan adalah buah murni dari pikiran yang telah melewati proses perenungan panjang dan mendalam. Tidak asal jeplak, apalagi klangenan belaka.
Guru dari Plato itu membuktikan anjuran tersebut kala berdiskusi dengan para santrinya, atau ketika beradu argumen dengan kaum sofis (pemuja perbantahan) di Athena, terkait dewa-dewa sesembahan peradaban Yunani.
Modal besar yang dimiliki Socrates adalah Akal yang sehat. Nalar yang tajam. Pikiran yang jernih dan terang benderang. Membayangkan hidup Socrates di zamannya, persis benar dengan yang kita alami hari ini. Orang-orang beragama tenggelam dalam dogma dan doktrin semata. Sebatas, “katanya…” Bukan pembuktian.
Maka, tak perlu gumun jika sedikit saja dari orang beragama pada hari ini, yang pendekatan imannya mirip dengan para hanif semisal Ibrahim atau Muhammad Saw. Mereka tak lagi perlu membuktikan.
Wajar kiranya jika isi kepala umat beragama melulu soal surga-neraka, kafir, dan tersesat. Semua tinggal menjadi fiksi semu. Tak usah digali kebenarannya. Terima apa adanya. Cukup dibaca. Sebisa mungkin dihafalkan. Jangan digugat. Habis perkara. Ini soal keyakinan buta. Percuma bertukar pikiran.
Bertolak dari fenomena sedemikian, mafhum bila kemudian agama jadi guyonan saja. Semacam kelakar. Sekadar canda tawa. Ajang gagah-gagahan. Pamer dalil dan ujungnya: kehampaan. Pesan-pesan Suci (The Sacred Text) gagal dimaknai sebagai sebuah premis berpikir, sebagai aksioma.
Peran besar para nabi-rasul yang membawa Kitab Suci sepanjang hayat mereka mentah di meja kebanalan. Maka, kita bisa memaklumi jika kitab suci kemudian mengalami degradasi dan disejajarkan dengan Babad Tanah Jawi.
Keyakinan seperti itu artinya sama dengan menodai akal paling sehat. Apabila diucapkan oleh seorang yang tak terdidik secara akademis, mungkin kita masih bisa menerimanya. Cerita menjadi berbeda manakala yang mengatakan hal itu adalah seorang yang mengaku “filosof.” Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam, misalnya, tidak sama sekali mengandung imajinasi yang terbit dari fiksi. Allah telah menjadikan kitab ini sebagai pamungkas dari tiga kitab sebelumnya: Zabur, Taurat (Torah), dan Injil.
Keyakinan seperti itu artinya sama dengan menodai akal paling sehat. Apabila diucapkan oleh seorang yang tak terdidik secara akademis, mungkin kita masih bisa menerimanya. Cerita menjadi berbeda manakala yang mengatakan hal itu adalah seorang yang mengaku “filosof.” Al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam, misalnya, tidak sama sekali mengandung imajinasi yang terbit dari fiksi. Allah telah menjadikan kitab ini sebagai pamungkas dari tiga kitab sebelumnya: Zabur, Taurat (Torah), dan Injil.
Babad Tanah Jawi hanya menyimpan misteri kebenaran terkait sejarah. Maklum bila kini yang tersisa adalah unsur fiktifnya saja. Fakta yang ada, terkubur dalam teks. Jelas berbeda dengan Al-Qur’an yang setidaknya telah melintasi satu milenium lebih kehidupan manusia. Baik mereka yang ateisme dan agnostik, pun yang theis dan gnostik, semua mendapat porsi berpikir yang sama rata ketika mau merenung.
Pasalnya adalah, Al-Qur’an mengandung mutiara indah kebenaran yang terbuka lebar untuk diuji coba dengan akal. Fakultas paling puncak yang dimiliki manusia inilah yang lantas melahirkan sebuah kesadaran berkeimanan dan berkeyakinan, bahwa tuhan adalah Sumber Utama segala di alam raya.
Fiction dalam bahasa Arab diartikan khiyālun. Kata tersebut dalam bahasa Indonesia dimaknai tidak faktual, tidak nyata. Fictive dalam bahasa Arab diartikan dengan takhīliyun atau khayāliyun, yang bermakna tidak nyata sebagai kata sifat.
Dalam kalangan bangsa Arab kiwari, karya fiksi menujuk pada karangan Naguib Mahfouz, Nawal el-Sadawi. Pada masa Dinasti Abbasiyah, kita kenal sebuah novel filsafat karya Ibn Ṭufayl, Ḥayy ibnu Yaqẓan. Nah, apakah dalam Al-Qur’an ada unsur fiksi?
SEMOGA BERMANFA'AT DAN DAPAT MENAMBAH WAWASAN KITA
Jangan lupa jika menurut anda bermanfa'at dan anda suka LIKE FOLLOW DAN SHARE!!!
WASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
0 comments:
Post a Comment