WHAT'S NEW?
Loading...
Showing posts with label Hadist. Show all posts
Showing posts with label Hadist. Show all posts

Bismillah Alhamdulillah 

Allohummasholli'alamuhammadwa'alaalisayyidina Muhammad

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Sahabat yang dimuliakan ALLOH SWT

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits berfungsi menjelaskan, mengukuhkan serta 'melengkapi' firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits itu, ada istilah Hadits Dha'f.

Dalam pengamalannya, terjadi silang pendapat di antara ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha'if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad SAW. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha'if itu? Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha'if?<>

Secara umum Hadits itu ada tiga macam. Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz(menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.

Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih. 

Ketiga, Hadits Dha'if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.

Hadits Dha'if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha'if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar'i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha'if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.

Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha'if hanya dapat diberlakukan dalam fada'ilul a’mal, yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT).

Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma' di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha'if jika berkaitan dengan fadha'ilul a'mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur' an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid 'Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu' Fatawi wa Rasa'il:

"Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha'if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha'il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha'il al-a’mal, maka kami melonggarkannya". (Majmu' Fatawi wa Rasa'il, 251)

Namun begitu, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha'if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.

Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-­kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha'if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.

Maka, dapat kita ketahui, bahwa kita tidak serta merta menolak Hadits Dha'if. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas.

SEMOGA BERMANFA'AT DAN DAPAT MENAMBAH WAWASAN KITA

Jangan lupa jika menurut anda bermanfa'at dan anda suka LIKE FOLLOW DAN SHARE!!!

WASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.

Bismillah Alhamdulillah 

Allohummasholli'alamuhammadwa'alaalisayyidina Muhammad

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Sahabat yang dimuliakan ALLOH SWT

Sebagai umat Islam, kita dianjurkan untuk saling bahu-membahu. Yang kuat meringankan yang lemah dalam hal ekonominya, yang lemah membantu saudaranya di bidang yang ia mampu. Sebagai makhluk sosial, kita diperintahkan untuk saling bantu. Allah subhânahȗ wa ta'alâ berfirman dalam al-Qur'an:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS Al-Ma'idah: 2)


Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga bersabda, orang yang melapangkan kesempitan saudaranya, akan dilapangkan oleh Allah subhânahu wa ta'alâ.

مَنْ نَفَّسَ عَنْ أَخِيهِ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ


Artinya: "Barangsiapa melapangkan satu macam kesempitan dari aneka macam kesempitan yang dialami saudaranya, Allah akan melapangkan kesempitan penolong itu dari kesempitan-kesempitan hari kiamat. Dan barangsiapa menutupi (aib) orang Muslim, Allah akan menutupi aibnya baik di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa memudahkan urusan orang yang sedang kesusahan, Allah akan memudahkan urusannya di dunia maupun di akhirat. Allah selalu dalam pertolongan seorang hamba selama ia mau menolong saudaranya.” (Sunan at-Tirmidzi: 2869)

Menolong orang lain dapat diaplikasikan dalam berbagai macam. Bisa memberi utang orang yang sedang membutuhkan maupun memberi harta kepada orang lain.

Namun, secara pahala, jika ditimbang-timbang, pahalanya besar mana antara memberi orang secara cuma-cuma dengan memberi utang?

Berikut ini ada satu hadits yang dikutip beberapa kitab hadits di antaranya dalam Sunan Ibnu Mâjah, Faidlul Qadîr, Jâmiul Ahâdîts beserta sumber lain yang mengisahkan bahwa saat melakukan perjalanan isra' mi'raj, Rasulullah melihat di dalam pintu surga tertulis, shadaqah dibalas oleh Allah sepuluh kali lipat, sedangkan memberikan utang pahalanya 18 kali lipat. Teks lengkap hadits sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai berikut:


رَأَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ مَكْتُوبًا الصَّدَقَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا وَالْقَرْضُ بِثَمَانِيَةَ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيلُ مَا بَالُ الْقَرْضِ أَفْضَلُ مِنْ الصَّدَقَةِ قَالَ لِأَنَّ السَّائِلَ يَسْأَلُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِضُ لَا يَسْتَقْرِضُ إِلَّا مِنْ حَاجَةٍ.

Artinya: "Saya melihat di saat saya diisra'kan pada pintu surga tertulis, shadaqah dilipatgandakan sepuluh kali lipat. Memberi utang dilipatkan 18 kali lipat. Kemudian saya bertanya kepada Jibril, 'Bagaimana orang yang memberi utang lebih utama dari pada bershadaqah?'.

Kemudian Jibril menjawab 'Karena orang yang meminta, (secara umum) dia itu meminta sedangkan dia sendiri dalam keadaan mempunyai harta. Sedangkan orang yang berutang, ia tidak akan berutang kecuali dalam keadaan butuh'." (Sunan Ibnu Majah: 2422)

Al-Hakim dalam Fathul Qadir memberikan ilustrasi dengan perbandingan di atas seperti berikut. Andaikan orang sedekah satu dirham, berarti Allah akan membalas satu dirham modal yang ia berikan kemudian ditambah sembilan dirham sebagai bonus.

Dan kalau orang yang memberi utang orang yang butuh, dari sembilan dirham bonus tersebut dilipatgandakan. Jadi jumlahnya total adalah 19 dirham. Maka perbandingannya adalah sepuluh dengan 18.

Meskipun diriwayatkan di beberapa kitab, ada banyak ulama yang menganggap hadits tersebut dlaif. Di antaranya adalah Khalid bin Zaid as-Syâmî. Demikian diungkapkan oleh Abdul Hamid as-Syawani-Ahmad bin Qasim al-Ubbadi, Hawâsyî Tuhfatul Muhtâj bi Syarhil Minhâj, Musthafa Muhammad, Mesir, juz 5, halaman 36.

Kesimpulannya, antara shadaqah dan memberi utang orang lain, masing-masing adalah tindakan ibadah yang diperintahkan Al-Qur'an mapun hadits. Menurut satu hadits, memberi utang lebih unggul pahalanya. Terkait status dlaif-nya, hadits itu tetap boleh diyakini dan diamalkan dalam konteks memperkuat amal kebaikan (fadlâilum a‘mâl). Wallahu a'lam.

SEMOGA BERMANFA'AT DAN DAPAT MENAMBAH WAWASAN KITA

Jangan lupa jika menurut anda bermanfa'at dan anda suka LIKE FOLLOW DAN SHARE!!!

WASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.
Bismillah Alhamdulillah 

Allohummasholli'alamuhammadwa'alaalisayyidina Muhammad 

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Sahabat yang dimuliakan ALLOH SWT tahukah anda bahwa pada tahun ini untuk mencari atupun mengumpilkan pundi2 uang amatlah sulit,kita harus bertarung melawan kerasnya perubahan zaman terutama pada teknologi,kita harus pintar dalam memutar otak untu memperoleh rizki halal dan cukup memenuhi kebutuhan,namun kita orang islam juga harus percaya bahwa rizki sudah ditentukan ALLOH SWT.Selain berikhtiar kita juga diharuskan berdo'a.
Berikut cuplikan mengenai rizki.


Membuka Pintu Rizki

ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut:
Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh: 10-12)

Nabi Nuh ‘alaihi salam memberikan nasihat kepada kaumnya agar beristighfar kepada Allah. Mengapa Nabi Nuh memberikan nasihat seperti itu? Karena kaumnya pada saat itu banyak berbuat maksiat dan kafir kepada Allah, sehingga Dia tidak menurunkan hujan dalam jangka waktu sangat lama. Bahkan, kemarau saat itu sampai menyebabkan para wanita kaum Nabi Nuh menjadi mandul.

Mereka pun mendatangi Nabi Nuh untuk meminta saran tentang apa yang harus mereka kerjakan. Nabi Nuh akhirnya memberikan nasihat agar mereka beristighfar kepada Allah dari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kekafiran mereka.

Imam al-Qusyairi mengatakan di dalam tafsirnya: “Sesungguhnya istighfar adalah mengetuk pintu-pintu nikmat (rezeki). Barangsiapa yang di dalam dirinya terdapat rasa butuh kepada Allah, maka dirinya tidak akan bisa sampai kepada-Nya, kecuali dengan mengajukan istighfar sebagai pembukanya.”

Hasan al-Bashri pernah didatangi oleh tiga orang tamu. Yang pertama datang mengeluh karena tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Tamu kedua mengeluh karena desanya ditimpa paceklik dan tamu ketiga mengeluh karena tidak kunjung diberikan keturunan.

Hasan al-Bashri menyuruh ketiga-tiganya memperbanyak istighfar. Ketika beliau ditanya, “Wahai Hasan, tiga orang datang kepadamu mengeluhkan permasalahan yang berbeda, mengapa engkau menyuruh mereka dengan hal yang sama, yaitu istighfar?” Hasan al-Bashri kemudian membaca ayat di atas.

Banyak kejadian yang juga disaksikan dan dialami oleh Imam Fakhruddin ar-Razi pada zamannya tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu rezeki. Kita di zaman sekarang juga dapat menyaksikan dan merasakannya.

Ketika kita merasakan harta kita sedikit tersendat, barangkali istighfar kita juga kurang. Saat terjadi paceklik harta di dalam rumah tangga kita, maka salah satu hal terpenting yang harus dilakukan adalah memperbanyak istighfar kepada Allah. Jangan-jangan banyak dosa dan kemaksiatan yang menyumbat pintu rezeki dari Allah.

Di saat Khalifah Umar bin Khaththab radiyallahu anhu meminta rezeki dengan turunnya hujan, maka tidak banyak yang beliau lakukan. Umar hanya keluar dari rumahnya, lalu memperbanyak istighfar bersama umat Islam. Tak ada lainnya yang beliau baca.

Sungguh, kita boleh percaya atau tidak dengan kisah dan cerita di zaman dahulu. Tapi itulah kisah yang diceritakan oleh para ulama di dalam kitab-kitabnya ketika menafsirkan firman Allah di atas. Memang, yang diminta pada waktu itu bukanlah bantuan dari pemerintah berupa bantuan langsung tunai, uang SPP anak-anak kita, atau subsidi sembako untuk menurunkan harga kebutuhan bahan pokok. Para ulama dahulu dan para sahabat tidak meminta agar perusahaannya mendapatkan investasi yang lebih banyak. Tidak pula meminta bertambahnya tender yang dimenangkan. Mereka hanya meminta hujan.

Untuk kehidupan di zaman itu, hujan adalah sumber rezeki dan kehidupan. Sebab, kebanyakan mereka mengandalkan rezeki dari bercocok tanam.

Apakah sebagai karyawan, Anda sering mengalami keterlambatan gaji? Pemotongan gaji yang berlebihan? Apakah demonstrasi menjadi solusi? Bisa jadi itu perlu dilakukan, tapi cara terbaik sebagai pembuka pintu rezeki adalah beristighfar sebanyak-banyaknya. Yakinlah dengan firman Allah di atas. Dengan izin Allah, rezeki harta akan segera diberikan.

Atau Anda seorang direktur perusahaan atau pemegang saham dan aset perusahaan? Anda baru saja mendapatkan telepon kalau perusahaan Fulan membatalkan kontraknya dengan perusahaan Anda, sehingga mengalami kerugian yang sangat besar? Karyawan Anda berdemonstrasi karena menuntut upah yang tidak mampu dibayar perusahaan? Cobalah meyakinkan diri, lalu beristighfar kepada Allah sebanyak-banyaknya, niscaya Dia akan segera membukakan pintu dan jalan keluar dari masalah tersebut.

Al-Qur’an juga memberikan penjelasan tentang istighfar sebagai kunci pembuka pintu-pintu rezeki di dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini:

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabbmu, lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Hud: 52)

Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan: “Nabi Hud alaihi salam memerintahkan kaumnya untuk beristighfar (memohon ampunan kepada Allah) agar dosa mereka dihapus Allah dan permintaan ampun mereka diterima di sisi-Nya. Barangsiapa memiliki sifat ‘pemohon ampun’, al-mustaghfir, maka Allah akan memudahkan rezeki untuknya, melancarkan urusannya, dan menjaganya.”

Al-Qur’an juga memberikan arahannya kepada kita saat pintu rezeki seakan tertutup di hadapan kita, yaitu agar kita menghadapinya dan berusaha membukanya dengan kunci pintu rezeki, berupa istighfar kepada Allah. Al-Qur’ an menyatakan:

Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.” (Hud: 3)

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Dia akan memberikan kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu” adalah Allah akan memberikan rezeki dan kelapangan kepada kalian. Sedangkan Imam al-Qurthubi mengatakan: “Balasan-balasan itu adalah buah dari istighfar dan tobat. Allah akan memberikan kelapangan rezeki dan kenikmatan kehidupan kepada orang-orang yang beristighfar kepada-Nya.”*Nur Faizin, dari bukunya Rezeki Al-Qur’an-Solusi Al-Qur’an untuk Yang Seret Rezeki.

SEMOGA BERMANFA'AT

Jangan lupa jika menurut anda bermanfa'at dan anda suka LIKE FOLLOW DAN SHARE!!!

WASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.


Bismillah Alhamdulillah

Allohummasholli'alamuhammadwa'alaalisayyidina muhammad.

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Sahabat yang dimuliakan ALLOH SWT,pada kesempatan 72 saya akan mengulas belajar tentang penyesalan dosa yang kita buat setiap harinya.
Kita dianjurkan untuk selalu mengigat dosa agar selalu ingat sang pencipta,dan senantiasa bertaubat kepada ALLOH SWT agar kita tidak kembali melakukan dosa tersebut!.

Simak pembahasanya!!!

Menyesal Karena Dosa



(عن ابن عباس قالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: كَفَّارَةُ الذَّنْبِ النَّدَامَةُ (الطبراني

Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu bahwasannya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Penutup dosa adalah penyesalan.” (Riwayat Ath Thabarani, dihasankan oleh Imam As Suyuthi)

Dalam hal ini Ibnu Razin berkata,”Bagian dari kekhususan umat ini, bahwasaanya penyesalan merupakan bentuk pertaubatan. Sedangkan di kalangan Bani Israil, jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan, maka diharamkan kepadanya seluruh macam makanan yang baik dan kesalahaannya akan tertulis di pintunya rumahnya. (Faidh Al Qadir, 5/8)

Penyesalan merupakan bagian yang tidak terpisah dari pertaubatan. Imam An Nawawi menyatakan bahwasannya taubat memiliki beberapa syarat. Dalam perkara dosa yang berhubungan dengan hak Allah, maka syarat taubat adalah beristighfar, menyesal, dan berazam untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. Jika berkenaan dengan hak sesama manusia, maka tiga syarat tersebut ditambah dengan mengembalikan haknya atau meminta kerelaanya dan maafnya. (Al Adzkar, hal. 309. 310)

Subhanalloh,jangan kita ulang dosa kita.
Semoga kita selalu diberikan jalan yang lurus oleh ALLOH SWT.

Mungkin itu yang dapat kita pelajari hari ini,kalau ada kata atau tulisan yang salah maupun tidak benar saya SOHIBY mengucapkan banyak minta maaf,jika ada sesuatu yang tidak berkenan dihati silakan komen agar saya tahu kesalahan saya.

Terimakasih,semoga bermanfaat.

Jangan lupa untuk selalu dapat belajar bersama saya LIKE FOLLOW DAN SHARE!!!

WASSALAMU'ALAIKUM WR.WB.

Baca jua!!!

Azab Dari Alloh Untuk Donal Trump Terbukti Nyata!!

Yerussalem Ujar Jokowi Amerika Banyak Melanggar Resolusi PBB


Dewan Keamanan PBB Adakan Pertemuan Darurat Bahas Status Yerusalem